Tatalaksana Blefaroptosis

Cetak
Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Blefaroptosis (ptosis) merupakan suatu keadaan kelopak mata atas (palpebra superior) turun di bawah kedudukan normal pada posisi primer. Posisi normal palpebra superior yaitu 2 mm dari tepi limbus atas dan palpebra inferior berada tepat pada tepi limbus bawah. Kondisi ini bersifat unilateral atau bilateral. Ptosis dapat diklasifikasikan berdasarkan onset yaitu kongenital dan didapat (acquired). Ptosis dapat terjadi tanpa menimbulkan gejala, ataupun dengan gejala seperti keterbatasan lapang pandang, kesulitan membaca, dan penutupan aksis visual sehingga dapat mengakibatkan ambliopia pada pasien anak. Griepentrog et al menyatakan insidensi ptosis kongenital 7.9/100.000 anak dan prevalensinya 1 dari 842 kelahiran dan 20% kasus ptosis kongenital mengalami ambliopia.

Penanganan ptosis memerlukan evaluasi yang baik. Pengetahuan mengenai anatomi kelopak mata dan berbagai jenis teknik operasi koreksi ptosis dapat membantu dalam penanganan pasien ptosis. Ptosis dapat diklasifikasikan berdasarkan onset dan etiologi. Ptosis diklasifikasikan menjadi ptosis kongenital dan acquired berdasarkan onset pasien. Ptosis kongenital adalah ptosis yang didapatkan saat lahir. Ptosis kongenital dapat berupa ptosis kongenital sederhana (miopatik), sindrom blefarofimosis, dan sindrom Marcus-Gunn jaw-winking.

Sebagian besar ptosis kongenital berupa ptosis miopatik, yaitu keadaan dimana terjadi miopatik developmental pada otot levator. Fungsi levator berkurang dan jaringan otot levator yang fibrotik membatasi mobilisasi ke arah inferior dari kelopak mata, sehingga ptosis saat melihat ke bawah terlihat lebih tinggi dibandingkan kelopak mata kontralateral yang normal. Eyelid crease biasanya tidak jelas atau tidak ada. Pasien terlihat sering mengangkat alis atau mengangkat dagu sebagai kompensasi.

Klasifikasi ptosis yang komprehensif berdasarkan etiologi yaitu miogenik, aponeurosis, neurogenik, traumatikal dan mekanikal. Ptosis miogenik disebabkan oleh miopati dari otot levator itu sendiri atau karena gangguan transmisi impuls di neuromuscular junction seperti ptosis kongenital atau myasthenia gravis. Ptosis aponeurotik disebabkan oleh defek pada levator aponeurosis. Ptosis neurogenik disebabkan oleh defek inervasi seperti pada palsi nervus kranialis III dan sindrom Horner. Ptosis mekanikal terjadi pada jaringan parut kelopak mata, tumor dan enoftalmos. Ptosis traumatik terjadi karena trauma pada levator aponeurosis, otot levator, atau nervus kranialis III.

Kelemahan levator aponeurosis merupakan penyebab utama ptosis. Keadaan ini paling sering disebabkan oleh perubahan involusional atau berkaitan dengan proses penuaan. Penuaan mengakibatkan kelemahan, disinsersi, dan peregangan levator aponeurosis, sehingga otot levator yang normal tidak mampu mengangkat kelopak mata atas. Karakteristik ptosis ini biasanya bilateral walaupun ptosis unilateral dapat terjadi. Eyelid crease lebih tinggi dan fungsi levator baik.

Operasi ptosis diindikasikan ketika aktivitas sehari-hari pasien terganggu karena obstruksi aksis visual, penyempitan lapang pandang yang signifikan di bagian superior, dan kelelahan kelopak mata atas sehingga menutup pupil saat melihat ke bawah atau membaca. Alasan utama pada sebagian besar orang untuk operasi adalah kosmetik. Pasien dengan ptosis kongenital dapat dioperasi saat berusia 5 tahun atau saat usia prasekolah, untuk menghindari masalah sosial selama sosialisasi di sekolah. Tindakan lebih dini dilakukan apabila terdapat resiko ambliopia dan kesulitan dalam proses belajar. Tidak adanya mekanisme kompensasi seperti mengangkat dagu merupakan tanda berkembangnya ambliopia sehingga harus dilakukan koreksi. Target dari operasi ptosis adalah untuk mendapatkan hasil anatomis dan fisiologis sebaik mungkin dengan mengangkat kelopak mata ke posisi yang adekuat. Hal yang harus diperhatikan adalah operasi tersebut tidak mengganggu kontur alami kelopak mata dan menyebabkan asimetris kelopak mata. Operasi ini adalah operasi elektif sehingga perlu dikomunikasikan kepada pasien mengenai resiko yang akan timbul, keuntungan dan alternatif terapi lainnya.

Komplikasi yang paling sering terjadi pada operasi ptosis yaitu undercorrection. Banyak ahli bedah menggunakan teknik dengan jahitan yang dapat diatur untuk menghindari komplikasi ini. Komplikasi lain yaitu overcorrection, kontur kelopak mata yang tidak simetris, jaringan parut, prolaps konjungtiva, eversi tarsal, dan lagoftalmos disertai keratitis eksposur. Lagoftalmos dengan keratitis eksposur biasanya sementara, namun tetap harus diberi lubrikasi untuk memproteksi bola mata.

Komplikasi reseksi levator berupa koreksi berlebih (overcorrection) yang jika ringan akan membaik dalam jangka waktu 4-6 minggu. Jika terjadi koreksi berlebih namun kornea masih terproteksi, dapat dilakukan penarikan bulu mata atas dengan cara pasien diminta melihat ke bawah, bulu mata dipegang, kemudian pasien diminta melihat ke atas secara maksimal, ulangi tiap 2-3 detik. Ulangi selama 30 detik, tiga kali sehari. Jangka waktu 6 minggu belum membaik maka dilakukan operasi ulang.

Kondisi undercorrection dapat membaik setelah edema berkurang. Observasi hingga 6 bulan dan operasi ulang jika tidak membaik. Kondisi undercorrection berlebih maka dilakukan koreksi ulang dalam jangka waktu 1-2 minggu.Ptosis dapat menyebabkan gangguan aktivitas sehari-hari akibat obstruksi dari visual aksis, penyempitan lapang pandang yang signifikan di bagian superior, kelelahan kelopak mata atas, dan gangguan sosialisasi. Penanganan ptosis memerlukan evaluasi sebelum dan setelah penanganan yang baik pada pasien. Keberhasilan operasi memerlukan pemahaman anatomi kelopak mata, teknik-teknik operasi, dan evaluasi sebelum tindakan operasi.

Oleh : Rani Pitta Omas, dr & Dr. M. Rinaldi Dahlan, dr., SpM(K)

PMN RS Mata Cicendo